Merenungi Eksistensi Buku di Tengah Tunanetra, Sebuah Catatan Untuk Hari Buku Sedunia
MAKASSAR - Buku adalah jendela ilmu. Kalimat itu diajarkan oleh bapak/ibu guru, semasaku SD awal 2000-an silam. Waktu itu masih kudapati bentukan buku yang kertasnya berwarna cokelat agak muda. Teksturnya kasar dan sesekali kutemukan aroma natural yang melekat padanya. Entah imajinasiku saja atau memang diproses sealami mungkin.
Buku itu tidak dikomersialkan, melainkan tersusun enteng di atas karpet yang mengalasi semen dalam ruangan layaknya gudang. Ya, benar waktu itu buku komersil telah banyak dibuat dari bahan kertas putih. Namun, ternyata buku-buku legendaris kertas cokelat masih membuktikan eksistensi sekolah yang juga tempat para orang tua murid pernah menimba pendidikan dasar itu.
Membaca buku jadul itu tidak membosankan. Justru berhasil membuat saya larut, dengan ceritanya. Mungkin karena buku itu sebagian besar isinya disematkan dengan cerita-cerita dan dibarengi dengan ilustrasi yang tak kalah menariknya dengan karikatur zaman now.
Walau diriku bukan sikutu buku, tapi indera penglihatan dan pendengaran ini senang menyimak cerita. Baik secara verbal maupun nonverbal, visual maupun nonvisual. Diriku juga tidak fanatik terhadap film-film atau novel dan karya sastra lain. Buku yang perlu dibaca menurutku adalah buku yang diminati, bukan yang sedang trending. Cukup tahu saja tentang judul buku dan nama penulisnya. Jika terjadi koneksi, lanjut mencari sinopsisnya. Dan setelah muncul ketertarikan dari rangkuman itu, barulah bukku tersebut masuk dalam kategori bacaan yang perlu diselesaikan.
Masih waktu SD dulu, setiap pagi segelas susu kuteguk sebelum bergegas memasang sepatu sekolahku. Bukan apa, tapi susu dengan salah satu brand terkenal waktu itu jika dibeli akan mendapatkan hadiah buku cerita bergambar. Sebut saja nama merk susunya MIKO. Yang pada akhirnya seluruh buku cerita bergambar tersebut berhasil kukoleksi dari pembeliannya terus-menerus. Brand susu pesaing, katakan saja DAMBOW juga memiliki hadiah buku cerita bergambar. Itu kudapat dari teman sekelas. Dan ceritanya tak kalah menarik. Bahkan, saya yang sesekali juga membeli merk susu itu mendapat hadiah VCD cerita animasi.
Membaca buku pelajaran, khususnya Bahasa Indonesia bisa mengaktifkan imajinasiku. Setiap BABnya pasti diawali dengan cerita. Dari situ, cerita legenda seperti Danau Toba, Malin Kundang, Nawang Wulan, Kabayan dan Si Wuragil sudah lekat dalam kepalaku. Ada juga cerita yang dikarang sendiri oleh tim penulisnya. Yang menarik dari buku masa kecil itu adalah, sesi tugas yang dikemas dengan bentuk ilustrasi. Misalnya terdapat sesi Tugas 1 di BAB II:
Ani sedang berniat memberikan kado ulang tahun kepada sahabatnya, Rina. Ia kemudian datang ke toko perlengkapan untuk membeli dan menyiapkan kemasan hadiahnya. Namun, ia bingung akan membelikan hadiah apa untuk Rina dan belum mengetahui apa saja yang harus dibelinya untuk membungkus kado tersebut. Bantulah Ani menemukan kado yang tepat serta tuliskan perlengkapan apa saja yang harus dibelinya untuk membuat kado!
Secara fisik, buku sudah menjadi kekayaan yang melebihi nilai emas dan permata selama berabad-abad. Walau mayoritas eksistensi buku kini telah bertransformasi menjadi produk digital, namun esensinya tak tergantikan sebagai jendela ilmu pengaya wawasan. Bahkan dengan hadirnya buku-buku digital seperti e-book dan audiobook itu telah menjembatani sebuah aksesibilitas bagi mereka yang mungkin sebelumnya tak terjangkau. Misalnya tunanetra. Mereka yang sebelumnya terpinggirkan, dipandang sebagai individu tak mandiri akibat sudut pandang yang keliru dari para perasa paling bisa.
Hadirnya aksara Braille pada abad ke-19 Masehi membuka semangat baru dalam pembangunan literasi di kalangan tunanetra. Namun, tak serta-merta demikian mengingat zaman itu belum memasuki era digital yang bisa menyalurkan informasi semasif hari ini. Di masa itu jangankan tunanetra, namun secara umum rakyat pribumi masih banyak yang buta huruf. Segala kemudahan akses yang ditampakkan di bumi Indonesia sekarang ini baru bisa dinikmati oleh mereka yang dulu dilabeli sebagai penyandang cacat netra di awal tahun 2000-an. Dan baru gencar dirasakannya pada 10 tahun terakhir ini. Mari kita hitung secara matematis. Sudah berapa lama tunanetra terstigma sejak manusia mengenal peradaban? Bahkan ketika kehadiran aksara Braille yang menjadi titik balik kemajuan literasi tunanetra, berapa lama mereka harus menunggu?
Kita tinggalkan sejenak masa-masa di mana orang buta harus menunggu hadirnya teknologi sebagai jawaban atas kesetaraan hak-haknya. Mari beralih pada era kekinian. Yang mana katanya masa-masa kejayaan para Gen-Z. Berkembangnya topik-topik diskusi tentang upaya peningkatan minat baca di kalangan Gen-Z sepertinya hal yang patut diseriusi. Pasalnya fakta tersebut berlawanan dengan logika sederhana mengenai dampak positif konvergensi media. Sehingga para pemangku kebijakan menggagas gebrakan sana-sini demi menyama-ratakan tingkat melek huruf dari sabang sampai merauke.
Pemetaan sasaran program pemerataan tersebut tadinya berangkat dari satu aspek saja. Yakni masyarakat tertinggal berdasarkan letak geografis. Namun belakangan ini berkat upaya senior yang gencar melantangkan suara-suara keadilan maka muncullah kini berbagai claim-claim inklusif terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemangku kebijakan. Ya, tak bisa dipungkiri bahwa saat ini ada beberapa perpustakaan yang diclaim sebagai ramah disabilitas, menyediakan fasilitas pendukung bagi tunanetra khususnya. Dimulai dari jalur pemandu (guiding block) dan buku braille.
Terkait hal ini, mari kita bahas tanpa tendensi menjatuhkan satu sama lain. Karena rasanya jika melanjutkan uraian ini dengan egoisme akan rasa yang paling mengerti, paling pintar, paling tahu, paling bisa maka rugilah bagi anda yang merelakan sebagian waktu untuk menyimak cuitan ini.
Mari kita adopsi sebuah ilustrasi tentang seorang ibu yang berniat membeli baju baru untuk anaknya. Ibu A yang pergi ke mall tanpa anaknya memilih sendiri sesuai selera, sementara ibu B yang membawa anaknya memberikan kesempatan pada si anak untuk memilih sendiri baju yang disukainya. Dari ilustrasi itu kita bisa menilai yang mana lebih mengedepankan nilai-nilai partisipatif pada anak. Tentunya tanpa melabeli bermaksud mencari yang mana salah dan yang mana benar. Karena tujuan awal kita adalah untuk mencari pola pikir dan pola perlakuan yang lebih maju dan manusiawi.
Dari ilustrasi tersebut, sekali lagi kita tak bermaksud mencari yang mana benar dan mana yang salah. Parameter yang kita gunakan bukan keduanya. Ini tentang pemikiran yang lebih maju dan mengedepankan rasa kemanusiaan. Jika peradaban telah dimulai sejak beribu tahun lalu, mengapa perspektif manusia tak dapat berkembang? Sementara seperti yang disinggung sebelumnya bahwasannya teknologi terus berkembang dari masa ke masa.
Mengapa keterlibatan masyarakat sangat penting dalam konteks pembangunan? Coba renungkan! Ini bukan pembahasan klasik seperti tema yang dimunculkan di setiap seminar-seminar formal. Namun rupanya kita harus lebih memahami tentang keterlibatan aktif masyarakat itu secara mendalam.
Banyaknya diskursus yang menuangkan gagasan partisipatif sepertinya belum berhasil menggugah pemahaman kita akan makna yang sebenarnya. Jadinya kita cenderung menyampingkan peran orang lain yang sebenarnya lebih tahu dan paham. Selama ini kita banyak mengandalkan asumsi semata. Kita mudah mendeskripsikan pandangan berdasarkan sudut tempat kita melihat yang sudah jelas-jelas terbatas. Hanya karena selembaran Ijazah dan outfit berwibawa yang melekat dalam raga kita lantas lupa bahwa sang pencipta telah menciptakan manusia dengan ujiannya yang berbeda-beda, yang mana pengetahuannya terbatas terhadap apa yang ada dalam hati dan pengalamannya masing-masing.
Kita merasa lebih tahu apa yang orang lain butuhkan. Dari asumsi tersebut lahirlah kebijakan pembangunan yang disebut strategis. Atas kebanggaan lahirnya kebijakan sepihak maka suara-suara kritik disepelekan. Bahkan dicerca dengan narasi-narasi pembelaan nan berkeangkuhan. Itulah tragedi yang lebih memilukan daripada sebuah pemberontakan, karena secara tak langsung membungkam suara orang-orang yang membela haknya.
Kita kembali pada keberadaan akomodasi bagi upaya pembangunan literasi di kalangan tunanetra. PERTUNI Sulsel yang beberapa tahun belakangan meninjau keberadaan akses bacaan di Kota Makassar, harus bilang kalau beberapa perpustakaan sudah memerhatikan aksesibilitas fisik yang ramah disabilitas. Sayangnya fasilitas tersebut kurang menjangkau sasaran dari entitas masyarakat rentan, yaitu disabilitas itu sendiri. Ibarat gula, tapi semutnya tidak menghampiri.
Mungkin sebagian akan mengambil kesimpulan kalau tunanetra memiliki minat baca yang rendah. Tapi, pernyataan tersebut terlalu cepat untuk dlontarkan bahkan bisa terbantahkan dengan sebuah pertanyaan, apakah hal itu sudah divalidasi melalui sebuah kajian ilmiah? Diriku tak pernah mendapat kabar dari manapun tentang adanya kunjungan perpustakaan keliling yang mengajak siswa dan mahasiswa tunanetra membaca sehingga berbondong-bondong datang ke perpustakaan. Bahkan, sosialisasi tentang perpustakaan digital yang bisa diakses oleh tunanetra mungkin tak pernah teralisasi selama ini.
Lagipula, jika benar tunanetra memiliki minat baca yang rendah, berarti kita telah gagal dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena masih ada entitas kecil dari bangsa itu yang masih tertinggal jauh di belakang. Kenyataan ini jika benar-benar adanya sungguh memilukan. Karena di saat kebangkitan teknologi yang mengakomodir para tunanetra bernavigasi di dalamnya justru tak bisa membawanya ke arah yang positif. Fasilitas sudah tersedia, namun tak dimanfaatkan. Kapan kira-kira program penyuluhan literasi yang menjangkau tunanetra itu direalisasikan? Kapan kunjungan perpustakaan yang mengajarkan asyiknya membaca untuk orang buta digerakkan?
Makassar punya Perpustakaan Daerah baru yang baru saja dibangun. Sementara itu, Perpustakaan Wilayah Sulawesi Selatan yang cabangnya bertebaran di beberapa wilayah Makassar dan Gowa berdiri dengan cantiknya. Fasilitas pendukung pun sampai buku Braille ada di dalamnya. Tapi belum terkoneksi dengan tunanetra. Tunanetra hanya membaca buku-buku motivasi yang mungkin tak relevan lagi di dekade ini. Semua gambaran itu terjadi karena mereka kurang terpapar. Sudah saatnya kita sodorkan buku-buku karya Eka Kurniawan kepada mereka, buku karya Andrea Hirata, kita kenalkan dengan sosok Habibi, Cokroaminoto dan Bung Karno melalui buku-buku yang menceritakan perjalanan mereka.
Jika satu kelompok masyarakat dekat dan beradaptasi dengan sistem yang dibangun oleh perpustakaan sebagai pranata pembangunan, maka bersiaplah akan kelahiran peradaban baru yang lebih maju. Sudah saatnya perpustakaan bergerak dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat dengan perspektif inklusif. Mari paparkan bacaan yang semestinya menjadi tonggak pergerakan menuju Indonesia Maju 2045!
Penulis: Ismail Naharuddin
Post a Comment for "Merenungi Eksistensi Buku di Tengah Tunanetra, Sebuah Catatan Untuk Hari Buku Sedunia"
Post a Comment