SKD CPNS Dan Penerapan Digitalisasi Tanggung, Catatan Untuk BKN
PERTUNISULSEL.OR.ID - Sobat PERTUNI, sudah baca pengumuman hasil seleksi administrasi CPNS 2024? Selamat bagi yang lolos ke tahap SKD, ya! Dan untuk sobat yang belum berhasil, tetap berjuang karena kalian masih bisa produktif di tempat lain, lho 🥰
SKD, sebagai tahap tes kompetensi awal CPNS masih menyisakan kendala bagi tunanetra. Penerapan digitalisasi seharusnya sudah bisa mempermudah seluruh peserta dalam mengakses soal-soal ujian. Sayangnya, kurangnya pelibatan organisasi disabilitas menjadikan hal ini sedikit jauh dari espektasi.
Kedudukan yang Sama Sebagai Pengguna
Dewasa ini telah membuktikan sebuah era informasi yang mana tunanetra juga menjadi subjek di dalamnya. Mereka mengakses berita, bacaan, konten hiburan bahkan audio visual melalui perangkat yang tercipta atas perkembangan teknologi. Sejatinya kini kehadiran mereka di dunia digital tak lagi sebatas objek yang dibicarakan, namun selaku pengguna. Akibatnya dalam konteks masyarakat cyber, semua orang kini memiliki kedudukan yang sama.
Namun, pemerintah nampaknya belum berhasil memanfaatkan kedudukan yang sama tersebut. Mereka yang seharusnya bisa mengerjakan soal secara mandiri melalui perangkat komputer, mengalami hambatan karena tidak efektifnya sumber daya yang disediakan. Dalam hal ini sumber daya dapat merujuk pada perangkat lunak yang digunakan, serta penataan antarmukanya.
Penerapan Digitalisasi yang Tanggung
Pengalaman pribadi saya, mengikuti Seleksi Kompetensi Teknis (SKT) dalam penerimaan PPPK Tahun 2023 lalu. Di lokasi ujian, seluruh panitia memberikan pelayanan mengesankan. Jargon pelayanan senyum, sapa dan salam sepertinya diterapkan. Sebagian mereka menuntun saya melakukan registrasi hingga ke ruang tunggu.
Sempat ditanya oleh petugas, apakah bisa mengoperasikan komputer. Kujawab bisa. Dan saya ditawari untuk melakukan ujian secara mandiri. Namun setelah menanyakan mengenai alat-alat yang tersedia, saya ragu. Bagaimana mungkin saya menjamin akan bisa beradaptasi secepat itu dengan peralatan yang sebelumnya belum pernah disimulasikan? Dan bagaimana saya bisa menjamin alat tersebut telah diinstalasi sebagaimana mestinya?
Masih di ruang tunggu, saya meraba papan ketik yang disodorkan oleh petugas. Katanya papan ketik Braille. Namun, sejatinya itu hanya papan ketik pada umumnya, yang kemudian ditempelkan huruf-huruf Braille. Semakin bertambah keraguan saya saat diberi tahu bahwa di ruangan juga tersedia headset, supaya saya bisa mendengarkan suara dari komputer.
Saya merasa aneh saat petugas menjawab "Tidak tahu" setelah saya bertanya apakah komputer dilengkapi dengan pembaca layar atau tidak. Maka dengan yakin saya menolak tawaran untuk mengerjakan soal secara mandiri. Tanpa ingin mengambil resiko harus menghabiskan beberapa waktu untuk beradaptasi dengan aplikasi ujian yang sebelumnya belum pernah disimulasikan.
Memahami maksud petugas, asumsinya adalah saya bisa mengerjakan soal secara mandiri hanya menggunakan papan ketik dengan tempelan huruf Braille disertai sebuah headset yang bahkan tidak diketahui berfungsi sebagai apa. Mengingat mereka yang ada di sana belum bisa memastikan apakah komputer telah dipasangi pembaca layar atau tidak, rasanya tidak memungkinkan bagi saya untuk mengambil resiko. Memang, secara teknis saya memahami langkah-langkah instalasi aplikasi pembaca layar. Namun hal tersebut seyogianya bukan momen yang tepat untuk melakukannya. Saya sedang mengikuti ujian dan harus berkejaran dengan waktu.
Di waktu yang lain, seorang kawan juga mengikuti ujian yang sama. Dihadapkan dengan soal agama Islam dengan bacaan Arab Gundul. Fatalnya, pendamping ujian tidak memiliki pengetahuan untuk membaca jenis tulisan itu. Dan saya tidak menjamin bahwa dalam lokasi ujian tersedia panitia yang mampu membacanya. Menurut saya, ini cukup beresiko karena tak ada pilihan selain menebak jawaban.
Pelaksanaan SKD atau pun seleksi kompetensi sejenis dengan implementasi seperti ini adalah hal yang tanggung bagi digitalisasi rekrutmen CASN. Betapa tidak? Peserta pada umumnya dapat merasakan pengalaman mengikuti seleksi CASN berbasis digital, sementara peserta disabilitas masih harus berbisik-bisik dengan pendamping ujiannya di sudut ruangan agar tidak mengganggu peserta lain. Padahal seperti yang disinggung di awal, bahwa tidak ada lagi kawan disabilitas yang mengalami hambatan berselancar di dunia maya. Tunanetra atau tidak, Tuli mau pun tidak, tua, muda semua sama yakni sebagai pengguna yang memiliki kontrol penuh atas itu.
Tidak Efektifnya Akomodasi Bagi Peserta CAT Tunanetra
Ya, bahwa sekitar 2020 lalu BKN sempat menerapkan ujian mandiri berbasis komputer kepada peserta tunanetra. Pembaca layar saat itu akhirnya dipasang pada masing-masing komputer yang akan digunakan oleh mereka. Sehingga tidak memerlukan pendamping ujian lagi. Saya menanyakan tentang pengalaman mereka dalam menavigasikan perangkat ujian yang mereka gunakan. Dan rata-rata mereka menjawab kesulitan karena harus beradaptasi dengan aplikasi yang digunakan untuk ujian.
Pentingnya simulasi ujian bagi peserta disabilitas sangatlah direkomendasikan untuk penyelenggara. Gunanya untuk menginventarisir semua kebutuhan calon peserta jauh hari sebelum pelaksanaan ujian. Sekaligus sebagai ajang calon peserta tunanetra untuk menguji coba dan mengadaptasikan diri dengan aplikasi CAT yang digunakan saat ujian nanti. Lantas, apakah kawan tunanetra tidak bisa melakukannya secara mandiri?
Ini bukan tentang bisa atau tidaknya kawan tunanetra melakukan simulasi ujian secara mandiri di rumah. Namun terkait masalah teknis terhadap aplikasi CAT yang dikembangkan oleh BKN.
Pentingnya Simulasi Resmi dari BKN Khusus Untuk Peserta Tunanetra
Misalkan, Merry telah mendaftarkan diri dan lolos ke tahap SKD CPNS 2024. Untuk mempersiapkan diri, ia mengikuti berbagai Try Out yang diadakan oleh bimbingan belajar. Dirinya dapat dengan mudah menavigasikan aplikasi Try Out tersebut, mulai dari menyimak soal, membaca pilihan jawaban, memilih jawaban sampai berpindah soal. Namun saat pelaksanaan ujian, dirinya yang mengerjakan soal secara mandiri menggunakan komputer bicara ternyata kesulitan menavigasi aplikasi CAT yang kebetulan saat itu digunakan oleh penyelenggara. Mengapa?
Karena tampilan antarmuka yang berbeda antara aplikasi CAT BKN dengan aplikasi yang biasa digunakan Merry untuk Try Out. Hal semacam ini dapat membingungkan tunanetra yang cakap teknologi sekali pun. Karena harus menyesuaikan diri terlebih dahulu walau pun waktu ujian sudah berjalan.
Banyak aspek dari tampilan aplikasi CAT mau pun komputer yang digunakan terlebih dahulu. Mulai dari cara menjawab pertanyaan, cara membedakan pilihan jawaban, cara mengidentifikasi shortcut navigasi halaman dan kursor, memindahkan soal, membaca nomor soal yang belum terjawab, sampai mengatur kecepatan bicara pembaca layar. Yang mana dari segi development, perubahan struktur pada source code walau pun hanya sedikit saja sudah berpengaruh banyak bagi tunanetra.
Baiklah! Mari kita coba rincikan lagi dengan sebuah perumpamaan. Johny yang tadinya melakukan Try Out secara mandiri di salah satu platform bimbingan belajar mampu menavigasi soal dengan mudah. Ia hanya perlu menekan tuts "B" pada papan ketik untuk mencari tombol pindah soal sebelum dan selanjutnya. Sementara untuk berpindah antar pilihan jawaban, ia hanya perlu menekan tuts "R", lalu menekan tuts "Spacebar" untuk memilih jawaban.
Namun kenyataannya berbeda saat ia menjalani ujian CAT yang sebenarnya. Ternyata aplikasi CAT membatasi shortcut yang dapat digunakan. Tidak ada shortcut untuk berpindah soal sebelum dan selanjutnya, dan soal tidak bisa dibaca kata-perkata. Ya, jelas karena BKN dan bimbingan belajar adalah dua platform yang berbeda dengan produk yang berbeda. Yang mana produk yang berbeda itu dibuat dengan susunan source code dan teknisi yang berbeda, bahkan pendekatan yang berbeda pula.
Inilah pentingnya simulasi secara resmi oleh BKN. Untuk memberikan kesempatan kepada peserta disabilitas agar menyesuaikan diri dengan perangkat yang nantinya akan mereka gunakan. Sekaligus untuk mengukur kesiapan dalam mengakomodir peserta disabilitas agar memiliki pengalaman yang sama dengan peserta lain.
Kurangnya Pelibatan Organisasi Disabilitas
BKN, BKD dan BKPSDM di seluruh wilayah mungkin pernah mengeluarkan Petunjuk Teknis Menggunakan Aplikasi CAT Bagi Tunanetra. Namun, apakah penyusunan juknis tersebut sudah mellibatkan tunanetra itu sendiri? Nothing About Us Without Us!
Saya rasa jargon itu sudah familiar di telinga kita. Bahwa yang mengerti kebutuhan disabilitas ialah mereka sendiri. Sehebat apa pun tim IT yang dimiliki BKN, namun jika tidak mengacu pada pedoman dasar membangun antarmuka aplikasi yang ramah bagi tunanetra akan dikali nol.
Maka dari itu, pemerintah dalam hal ini semestinya lebih merangkul organisasi disabilitas. Sebab walau pun perkembangan teknologi yang kian pesat, jika hanya dilandasi oleh asumsi subjektif tidak akan tepat guna. Di Indonesia banyak bertebaran kawan tunanetra yang andal IT. Apalagi Teknologi Informasi saat ini sudah menjadi harga mati bagi Gen-Z, tak terkecuali tunanetra.
So, saatnya berkolaborasi! DPD PERTUNI Sulawesi Selatan bersedia berembuk bersama dalam menciptakan lingkungan cyber yang inklusif. Termasuk penerapan digitalisasi pada rekrutmen Aparatur Sipil Negara.
Penulis: Ismail Naharuddin
Post a Comment for "SKD CPNS Dan Penerapan Digitalisasi Tanggung, Catatan Untuk BKN"
Post a Comment