Catatan Perjalanan 2023, Bidang Ketenagakerjaan Sektor Formal

MAKASSAR - Ketenagakerjaan merupakan isu terpenting dalam menciptakan kesejahteraan bagi warga negara. Tak terkecuali kalangan disabilitas. Setiap kita memiliki tanggungan pribadi yang harus dipenuhi. Dan melalui kerjalah, maka peningkatan taraf hidup masyarakat akan tercapai. Karena di dalam bekerja terdapat jaminan pengupahan yang merupakan hak pekerja itu sendiri.

Gambar Seseorang Mengetik di Atas Meja

Namun, tidak hanya persoalan upah yang menjadi bahan diskursus antara kalangan aktivis yang memperjuangkan hak di bidang ini. Melainkan pula bagaimana pekerja itu diperlakukan selayaknya. Tak boleh ada diskriminasi, marjinalisasi sampai perlakuan-perlakuan lain yang dapat menciptakan kerugian baik secara fisik mau pun mental bagi para pekerja.

Terkhusus di Sulawesi Selatan, telah berapa kali diadakan forum yang mempertemukan HRD perusahaan swasta dan bagian kepegawaian instansi pemerintah dengan jaringan opdis, yang membahas mengenai identifikasi peluang kerja kelompok disabilitas di sector formal. Hal ini juga merupakan perwujudan untuk mengimplementasikan amanah Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas yang di dalamnya termaktub poin yang mengamanahkan instansi pemerintah agar mempekerjakan paling sedikitnya 2% tenaga disabilitas dan 1% tenaga disabilitas dalam perusahaan swasta.

Salah satu pertemuan yang dimaksud ialah kegiatan Diserminasi Memajukan Ketenagakerjaan Inklusif Bagi Penyandang Disabilitas yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sulawesi Selatan bekerja sama dengan NLR Indonesia melalui program LEAP Project yang digagas oleh keduanya. Selain itu, pengesahan PP No. 60 Tahun 2020 Tentang ULD Ketenagakerjaan merupakan acuan pembentukan Unit Layanan Disabilitas bidang ketenagakerjaan di setiap OPD, tak terkecuali di Sulsel mau pun di Kabupaten/Kota se-Sulsel.

Sementara pada 30/12/2020, dalam audiensi DPD PERTUNI Sulawesi Selatan Bersama Kepala Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi Sulawesi Selatan, Andi Darmawan Bintang sempat berdialog dengan mempertanyakan keterampilan apa saja yang dimiliki oleh kawan-kawan disabilitas, khususnya netra. Hal itu dilontarkan sebagai data yang nantinya akan dijadikan acuan ketika pengadaan penyaluran tenaga kerja baik ke instansi pemerintah mau pun swasta.

Dijelaskan oleh delegasi PERTUNI Sulsel yang hadir dalam audiensi itu, bahwasannya kawan-kawan netra memiliki keterampilan tidak terbatas sampai di sector informal seperti membuka usaha pijat, berdagang dan kuliner saja. Melainkan pula memiliki keterampilan formal seperti Master of Ceremony (MC), mendidik, analisis, administrasi, presenting dan sebagainya. Karena ketika berbicara soal hardskill, berarti berkaitan erat dengan bakat, minat dan potensi orang yang bersangkutan. Ada pun kondisi fisik setiap orang berbeda-beda, dalam hal ini kelompok disabilitas yang memiliki kondisi fisik dan sensorik yang berbeda, tentu memiliki cara yang berbeda pula dalam menyelesaikan pekerjaan.

Jika sudah masuk dalam pembahasan perbedaan cara, perbedaan pola dan perbedaan metode harus dibarengi dengan perspektif yang tidak mendiskreditkan kemampuan, cara dan metode orang yang berbeda-beda itu tadi. Misalnya untuk mengoperasikan computer, disabilitas netra menggunakan aplikasi pembaca layar. Melalui aplikasi pembaca layar tersebut, penggunanya bisa menangkap tampilan di layar dari keluaran suara yang diucapkan oleh system. Dapat dikatakan, disabilitas netra dalam hal ini memanfaatkan media audio. Sementara, orang yang bukan merupakan disabilitas netra atau lumrah ditemui adalah penggunaan computer yang menggunakan media visual.

Maka dalam memandang perbedaan car aini, harus menggunakan paradikma yang menyetarakan keduanya. Penggunaan computer dengan dengan media visual tidaklah lebih baik dari pada penggunaan computer dengan media audio dan sebaliknya. Paradikma ini sangatlah penting karena tidak jarang dari kita yang mendiskreditkan cara pengoperasian computer menggunakan media audio atau menggunakan pembaca layar. Kita sering mengasumsikan bahwa cara seperti ini adalah cara khusus, sehingga melabeli car aini sebagai sesuatu yang tidak normal.

Keliru apabila pendekatan yang diterapkan adalah mencari mana yang normal dan tidak normal dalam memandang kemampuan dan keterampilan disabilitas. Dan kuranglah tepat apabila mengelompokkan mana cara-cara umum dan mana cara-cara yang khusus. Yang lebih tepat ialah memandang perbedaan itu sebagai bentuk keragaman kemampuan dan metode yang dimiliki oleh seseorang. Sama seperti toleransi, yang menerima segala bentuk keragaman tanpa mendiskreditkan satu sama lain apa lagi menjustifikasi.

Pola dan metode kawan-kawan disabilitas netra dalam menggunakan computer mungkin harus dikenali dan dipahami dengan baik oleh pemangku kepentingan. Hal ini untuk meminimalisir asumsi-asumsi yang tidak tepat terhadap kawan-kawan disabilitas. Karena bagi kawan-kawan disabilitas yang saat ini berhasil terjun ke dunia kerja pada sektof formal sekali pun masih mendapatkan tantangan. Tantangan dalam dunia kerja merujuk pada kondisi yang dihadapi kawan-kawan disabilitas ketika terserap dalam lapangan pekerjaan.

Pada pertengahan 2022 lalu menjadi awal sebuah gebrakan yang dilakukan oleh Pemprov Sulsel, di bawah pimpinan Gubernur Andi Sudirman Sulaiman. Di bulan Agustus 2022, kami beserta beberapa organisasi disabilitas lainnya menerima undangan audiensi dengan Staff khusus Gubernur,yang akrab disapa pak Rusdi. Pertemuan yang dihadiri oleh beberapa pejabat Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Sulawesi Selatan dalam rangka merekrut tenaga Non ASN disabilitas di lingkungan Pemprov Sulsel.

Setiap opdis yang hadir saat itu diminta untuk mempresentasikan kemampuan-kemampuan apa saja yang dimiliki oleh anggota-anggotanya. PERTUNI yang saat itu diwakili oleh Yoga, Ismail dan Fajrin masing-masing memaparkan potensi kerja yang dimiliki kawan-kawan disabilitas netra. Tercatat ada beberapa peluang kerja yang dapat digeluti oleh disabilitas netra di sector formal dalam pertemuan itu, yakni Master of Ceremony, content writer, copywriter, analist, guru, dosen, pekerja administrasi dan lain-lain.

Hasil dari pertemuan itu adalah melahirkan sebuah kesepahaman agar proses perekrutan tenaga Non ASN disabilitas dilakukan dengan berorientasi pada kemampuan, bukan jenis kedisabilitasan. Sebab, kami tak ingin jika sampai perspektif yang keliru dalam perekrutan ini justru melahirkan diskriminasi di antara kelompok disabilitas itu sendiri.

Misalnya saja ada pembandingan antara jenis disabilitas netra dengan disabilitas fisik. Banyak dari masyarakat yang mengasumsikan bahwa disabilitas fisik memiliki derajat kedisabilitasan yang ringan, sedangkan disabilitas netra memiliki derajat kedisabilitasan yang berat. Lagi-lagi penyebab hal itu karena stigma yang ditujukan kepada disabilitas netra lantaran kondisi sensoriknya yang tidak memungkinkan untuk memungsikan organ matanya. Padahal, seperti yang disinggung pada awal bagian ini bahwasannya setiap kita memiliki cara dan metode sendiri-sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan. Tak terkecuali di kalangan teman-teman disabilitas.

Seperti dalam menggunakan computer. Mungkin kawan dengan disabilitas fisik yang tidak memiliki disfungsi pada organ tangannya dapat mengoperasikan computer seperti layaknya yang bukan disabilitas. Namun bukan berarti disabilitas netra tidak bisa menyelesaikan pekerjaan yang sama dengan sempurna, meski pun dengan cara dan metode yang berbeda karena menggunakan aplikasi pembaca layar. Jadi, analisis jabatan yang dilakukan dalam proses rekrutmen disabilitas perlu dicermati dengan mempertimbangkan basis kemampuan, bukan kondisi kedisabilitasan.

Pentingnya keberadaan ULD Ketenagakerjaan sebagai amanah PP No. 60 Tahun 2020 juga menjadi rekomendasi utama dalam pertemuan tersebut. Sepertinya bapak-bapak dari BKD saat itu belum familiar dengan ULD dan segala regulasinya. Sungguh sangat disayangkan, namun beruntung rekomendasi yang kami kemukakan dapat ditampung oleh BKD dan akan segera merumuskan rencana pembentukannya.

Setelah melalui proses audiensi Bersama staff khusus Gubernur, pada 3/10/2022 sebanyak 12 tenaga Non ASN disabilitas diangkat dan disahkan langsung oleh Gubernur Andi Sudirman Sulaiman di kantor BAPENDA Sulawesi Selatan, Jl. A.P. Pettarani, Makassar. Tenaga disabilitas yang diangkat terdiri dari 9 kawan disabilitas netra hasil rekomendasi DPD PERTUNI Sulawesi Selatan dan 3 kawan disabilitas fisik hasil virtual job fair oleh Disnakertrans Prov. Sulsel. Pengalaman awal teman-teman disabilitas dalam terlibat di lingkungan pemerintahan merupakan sesuatu yang harus terus ditinjau oleh kami, sebagai yang memberikan rekomendasi. Olehnya itu, kami membuat sarana komunikasi dalam bentuk grup Whatsapp sebagai kalan informasi dan wadah sharing bagi ke-12 tenaga disabilitas Pemprov Sulsel ini.

Berita pengangkatan tenaga Non ASN disabilitas dapat dibaca pada halaman berikut:

  • https://www.sonora.id/read/423507998/pemprov-sulsel-rekrut-12-tenaga-non-asn-dari-kalangan-disabilitas
  • Sebuah apresiasi pantas untuk diberikan atas terobosan Pemprov Sulsel ini. Namun, sangat disayangkan karena pengangkatan ini belum mengakomodir seluruh ragam disabilitas. Misalnya kawan-kawan Tuli. Tak ada satu pun dari kawan Tuli yang terdaftar Namanya dalam SK pengangkatan Non ASN disabilitas.

    Selain belum terakomodirnya seluruh ragam disabilitas, yang mesti jadi perhatian adalah realita keseharian kawan-kawan disabilitas di tempat kerja masing-masing. Benar bahwa semua nama-nama yang direkomendasikan telah didistribusikan ke berbagai OPD dan posisi sesuai bidang keterampilannya. Namun sebagian besar belum mendapatkan ruang untuk menyalurkan keterampilan itu. Ada yang diberikan pekerjaan yang ringan-ringan saja, walau pun secara de facto dirinya ditugaskan untuk mengurusi bidang tertentu. Misalnya Herman yang ditempatkan di bagian umum Sekretariat BAPPELITBANDA Prov. Sulsel, yang seharusnya mengelola surat masuk dan surat keluar, tapi tugas yang diinstruksikan oleh atasannya tidak sesuai dengan tupoksi yang tercantum dalam SK pengangkatan. Justru dirinya diberi tanggung jawab untuk mengantar surat dari ruang sat uke ruang lainnya, adzan di Mushola dan kultum setelah sholat berjamaah.

    Contoh lain, Risya yang ditempatkan pada UPT Kearsipan yang berada di bawah naungan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sulawesi Selatan. Dirinya ditugaskan untuk melakukan scanning naskah-naskah kuno. Namun apa yang diinstruksikan tersebut proggressnya tidak pernah ditinjau oleh atasan langsung. Hal ini terkesan seperti memberikan tugas kepada kawan-kawan disabilitas hanya sebagai formalitas saja. Seolah hanya ingin menciptakan suasana bahwasannya kawan-kawan disabilitas asal memiliki aktivitas di kantor saja.

    Bahkan ada yang tidak diberikan instruksi atau arahan sama sekali. Hal ini sangat ironi dikarenakan tenaga Non ASN disabilitas yang telah diangkat dan disahkan, yang katanya memiliki keterampilan yang tidak kalah dari nondisabilitas seperti dicampakkan setelah pelantikan. Teman-teman justru kehilangan ruang untuk menyalurkan potensi diri.

    Bukan hanya itu, kesan pengangkatan tenaga Non ASN disabilitas seperti sebuah charity model. Yang mengangkat kawan-kawan disabilitas sebagai pegawai, namun tidak memberikan atau mempercayakan pekerjaan untuknya. Padahal upah bulanan tetap berjalan. Jelas kalau ini bisa dikategorikan sebagai charity model.

    Jika dewasa ini pendekatan yang diterapkan untuk menangani isu disabilitas masih menggunakan charity model, maka sejatinya pola berpikir kita masihlah kuno. Kita masih memandang disabilitas sebagai objek belas kasihan. Kita masih merasa lebih superior dibanding disabilitas. Makanya untuk melakukan pekerjaan di instansi pemerintah yang memerlukan pengoperasian computer, pengolahan data, pengarsipan dokumen dan publikasi media, kawan-kawan disabilitas tidak perlu dipekerjakan. Cukup mereka berada di lingkungan itu, mendapatkan jaminan bulanan dan boleh datang dan izin di kantor semaunya. Inilah salah satu contoh pendekatan yang keliru dalam menangani isu disabilitas.

    Tidaklah demikian harapan kami saat awal perencanaan pengangkatan pengawai Non ASN disabilitas ini. Susah payah kami mempresentasikan seperti apa basis kemampuan yang dimaksud dalam perekrutan dan penempatan tenaga kerja disabilitas saat beraudiensi dengan staff khusus bersama BKD di pertengahan 2022 lalu. Seperti apa perspektif yang seharusnya menjadi pedoman dalam memberlakukan pegawai disabilitas, dan keterampilan seperti apa yang dimiliki oleh kawan-kawan disabilitas dalam bidang pekerjaan di sector formal telah kami sampaikan sejak awal gagasan ini yang menjadi bukti nyata bahwa kami menolak adanya praktik charity model. Dan sebagai evaluasi selama satu tahun lebih 2 bulan ini, pemberdayaan tenaga Non ASN disabilitas masih perlu pembenahan yang serius.

    Menanggapi fenomena yang terjadi dalam rekrutmen Non ASN disabilitas itu, kami telah mengajukan audiensi kepada beberapa OPD yang mempekerjakan kawan-kawan disabilitas. Tujuannya untuk bersilaturahmi sekaligus mengajak untuk melakukan pembenahan setidaknya mulai dari perspektif terlebih dahulu. Pun untuk membantu para pejabat di lingkungan Pemprov dalam membangun pola-pola interaksi yang tepat serta komunikasi yang efektif agar proses pemberdayaan disabilitas di sector formal ini dapat kembali pada tujuan awal gagasannya. Namun sampai saat ini dari semua OPD yang kami surati belum ada satu pun yang menerima pengajuan audiensi tersebut.

    Untuk itu keberadaan ULD Ketenagakerjaan di sini sangatlah dibutuhkan. Peranannya sangat penting agar bisa memudahkan konsolidasi antara pemangku kepentingan beserta opdis dalam menyatukan persepsi yang berorientasi pada kesetaraan, bukan karena kasihan. Semoga pembentukan ULD Ketenagakerjaan ini dapat terealisasi secepatnya, yang mana menurut informasi yang beredar bahwa regulasi pembentukannya telah diterbitkan. Yah, walau pun dikarenakan penganggaran baru dapat direalisasikan di tahun 2024, artinya pembentukan susunan personalianya baru bisa ditetapkan di tahun 2024 pula.

    Penulis: Ismail Naharuddin

    Post a Comment for "Catatan Perjalanan 2023, Bidang Ketenagakerjaan Sektor Formal"