Memaknai Perbedaan Kemampuan Sebagai Bentuk Kebhinekaan

PERTUNISULSEL.OR.ID - Mungkin ada di antara kita yang biasa menjumpai seorang pengguna tongkat putih atau bahkan pernah berinteraksi dengan seorang yang memiliki perbedaan pola komunikasi dibanding biasanya. Atau yang lebih menarik lagi, seorang pengguna sepeda motor yang dimodifikasi menjadi motor tiga roda agar keseimbangan motor tetap stabil saat dikendarai.

Gambar Buku Braille, sumber: pexels.com

Yah, benar bahwa merekalah difabel. Mereka punya cara yang berbeda dari orang kebanyakan untuk mengerjakan aktifitasnya sehari-hari. Pengguna tongkat putih misalnya, fungsi penglihatan yang tidak mereka miliki dialihkan pada tongkat yang mereka gunakan untuk meraba sekitarnya saat bermobilisasi. Merekalah yang kita kenal dengan sapaan difabel visual, difabel netra, disabilitas netra, ataupun tunanetra.

Selanjutnya kita sering mendengar sapaan akrab bagi orang yang tidak dapat menangkap suara-suara atau biasa kita kenal dengan sapaan kawan-kawan tuli. Mereka juga adalah difabel. Mereka tetap bisa berinteraksi walaupun dengan menggunakan pola bahasa isyarat atau dengan media tulis.

Sementara pengguna motor tiga roda hasil modifikasi yang penulis maksudkan sebelumnya ialah kawan-kawan yang kita kenal dengan sapaan difabel fisik, disabilitas daksa, atau tunadaksa. Dalam bermobilisasi, mereka juga menggunakan tongkat namun berbeda dengan yang digunakan oleh difabel visual. Tongkat yang biasa mereka gunakan berukuran lebih besar karena akan difungsikan untuk menopang tubuh sehingga tidak terjatuh. Selain itu, kawan-kawan difabel fisik yang biasa kita jumpai juga ada yang menggunakan kursi roda ataupun protesa.

Seseorang yang mempunyai kesulitan belajar, sering merasa was-was, ataupun berhalusinasi juga adalah difabel. Merekalah yang biasa disapa dengan difabel intelektual dan difabel mental. Mereka yang difabel intelektual akan mengalami perlambatan atau bahkan kesulitan dalam belajar, sementara mereka yang difabel mental ialah seseorang dengan ilusi atau halusinasi tinggi yang mengalami Skyzofrenia atau Bipolar.

Kawan-kawan difabel intelektual biasanya akan memiliki pola belajar yang berbeda dan disesuaikan dengan kemampuannya, sedangkan kawan-kawan difabel mental biasanya menggunakan obat untuk menjaga agar kondisinya tetap pulih. Penggunaan obat bagi difabel mental ini ibaratnya sama dengan urgensi tongkat bagi difabel visual, bahasa isyarat bagi difabel tuli, dan kursi roda, protesa ataupun tongkat bagi difabel daksa.

Tidak jarang kita temukan, bahwa mereka yang termasuk ke dalam kelompok difabel masih dianggap sebagai orang yang menderita. Untuk itu, mereka pantas mendapatkan perlakuan istimewa atau dengan kata lain dikasihani. Padahal sebenarnya, walaupun dengan kemampuan yang berbeda dengan orang kebanyakan, mereka tidak merasakan beban karena keterbatasan yang dimiliki. Bagi difabel yang terlatih kemandiriannya, ketergantungan pada alat bantu yang digunakan akan menggantikan keberadaan penglihatan, pendengaran, atau alat-alat motorik yang hilang.

Untuk difabel visual misalnya, ketiadaaan penglihatan bagi mereka bukan merupakan suatu hambatan lagi dalam beraktifitas. Selama mereka memiliki alat bantu untuk berjalan dan melakukan pekerjaan yakni tongkat putih, mereka tetap “enjoy” dan tidak menganggap kebutaan menjadi sebuah masalah. Buktinya, mungkin sering kita mendapatkan sebagian dari kawan-kawan difabel yang bersekolah di sekolah regular. Mereka mengikuti proses pembelajaran dalam kelas bersama anak yang nondifabel. Coba perhatikan, apakah mereka terlihat menderita dengan kondisi fisik atau sensorik yang dialaminya?

Pernahkah kita mendapatkan siswa difabel yang depresi akibat kondisi yang dialaminya berbeda dengan teman kelasnya? Pernahkah kita mendapatkan mahasiswa difabel yang menyayangkan nasibnya menjadi seorang difabel? Sejauh yang saya ketahui hingga saat ini, jawabannya adalah tidak.

Seperti yang penulis kemukakan sebelumnya, bahwa bagi difabel yang telah terlatih kemandiriannya dalam menggunakan alat bantu sudah tidak terlalu menggantungkan diri pada fungsi penglihatan, pendengaran, atau motoric. Itu berarti, melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda bagi difabel bukan lagi menjadi sebuah beban bahkan penderitaan. Sebab, seperti kata pepatah, “Ala Bisa Karena Biasa,”.

Dampak dari pandangan tentang difabel yang menderita dan pantas untuk dikasihani adalah dijadikannya mereka sebagai obyek santunan. Tak jarang mereka mendapatkan pemberian uang saat berada di jalan padahal penampilan yang mereka perlihatkan tetap rapi. Bukanlah sebuah hal lucu jika kita memberikan sejumlah uang kepada difabel yang ditemui di jalan dengan niat sedekah yang ternyata mereka adalah pengusaha, pelajar, mahasiswa ataupun pegawai.

Hal lain yang menjadi stigma bagi difabel ialah tidak mampunya mereka dalam menyelesaikan pekerjaan atau bersaing dengan orang kebanyakan. Ini dibuktikan dengan masih adanya berbagai macam penolakan yang dialami difabel itu sendiri ketika mendaftarkan diri di sekolah regular, melamar pekerjaan, atau mengajukan permohonan pelayanan public.

Satu hal yang penulis pernah alami adalah penolakan saat mencoba mengakses fasilitas umum. Tepatnya di sebuah bank di Makassar. Saat itu penulis mengajukan fasilitas m-Banking namun karena dianggap tidak dapat menjaga kerahasiaan keamanan dan berpotensi menghilangkan atau lalai dalam mengamankan data-data penting dalam transaksi, maka penulis terpaksa tidak dapat menikmati fasilitas seperti yang bisa diakses oleh nasabah secara umum.

Padahal, kita ketahui bersama bahwa justru dengan adanya fasilitas m-Banking atau sejenis fitur e-channel lainnya pada suatu bank akan membantu proses transaksi difabel tersebut. Mereka tidak perlu susah payah keluar rumah mencari ATM dengan membawa kartu saat akan melakukan transaksi. Justru transaksi melalui gadget atau computer akan lebih aman ketimbang melalui ATM.

Selain itu, lapangan kerja yang masih sulit diakses oleh difabel menjadi bukti bahwa adanya anggapan ketidakmampuan difabel dalam menyelesaikan pekerjaan. Padahal, begitu banyaknya pemuda difabel yang cakap teknologi dan mampu mengoperasikan gadget dan computer. Kemampuan difabel daksa dalam mengendarai motor roda tiga pun bisa menjadi peluang baginya untuk mendapatkan posisi dalam suatu lapangan kerja.

Kompetensi yang dimiliki oleh difabel harusnya menjadi parameter kelayakan mereka pada pekerjaan tertentu. Hendaknya pelamar difabel diberikan ruang dan kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuannya dalam bersaing dengan pelamar lainnya. Tidak serta merta menolak keberadaan pelamar difabel hanya dengan alas an perbedaan pola kemampuan.

Selain pekerjaan, peluang dan kesempatan yang sama bagi difabel hendaknya disediakan di berbagai aspek. Seperti pendidikan, pelayanan public, politik, dan sebagainya. Tentunya hal ini sesuai dengan amanah Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.

Maka dari itu, untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat tidaklah lepas dari upaya pemenuhan hak difabel. Namun di samping itu, tentu dibarengi dengan pemahaman dan pandangan yang tidak mendiskreditkan seorang difabel itu sendiri. Persepsi bahwa difabel adalah manifestasi dari keberagaman kemampuan bukannya menjadi bagian dari nilai moral bangsa? (*)

Penulis: Ismail Naharuddin

Artikel ini telah tayang pada situs Geotimes dengan judul "Mengenal Difabel Sebagai Bagian Dari Keberagaman" pada 10 Oktober 2020 oleh penulis yang sama.

Post a Comment for "Memaknai Perbedaan Kemampuan Sebagai Bentuk Kebhinekaan"